Banner 468 x 60px

 

Monday, September 30, 2013

Konseling Psikologi Individual (KOPSIN)

0 komentar

KONSELING PSIKOLOGI INDIVIDUAL
(KOPSIN)

A.    Pengantar Konseling psikologi individual

Model konseling psikologi individual dipelopori oleh Alfred Addler. Model konseling psikologi individual didasarkan atas pandangan holistic mengenai pribadi manusia. Kata individual berarti bahwa manusia dipandang sebagai suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Karena itu manusia juga tidak terpisah menjadi bagian-bagian, maka kepribadian itu dipandang sebagai suatu kesatuan atau keseluruhan yang tidak dapat dipisahkan.
Salah satu implikasi dari pandangan tersebut adalah bahwa klien seyogyanya dipandang sebagai suatu bagian terpadu dalam system social. Psokologi individual tertumpu pada keyakinan pokok bahwa kebahagiaan dan keberhasilan seseorang pada umumnya berkaitan dengan keterikatan social. Alder berpendapat bahwa manusia mempunyai kebutuhan yang kuat untuk merasa bersatu dengan orang lain.
Manusia memiliki kebutuhan yang kuat untuk menempati dan menemukan tempat yang berarti dalam masyarakat. Tiadanya perasaan untuk mendapatkan tempat dan diterima oleh orang lain merupakan salah satu musibah yang paling hebat terhadap perasaan manusia (Rochman Natawidjaja; 1987). Manusia itu tidak hanya membutuhkan orang lain, manusia juga mempunyai perasaan untuk diterima oleh orang lain.

B.   Pandangan Tentang Manusia

1.     Manusia tidak semata-mata bertujuan memuaskan dorongan-dorongannya, tetapi secara jelas juga termotivasi untuk melaksanakan tanggung jawab sosial dan pemenuhan kebutuhan untuk mencapai susuatu.

2.     Tingkah laku individu ditentukan oleh: lingkungan, pembawaan, dan individu itu sendiri.
3.     Tingkah laku tidak ditentukan oleh kejadian yang diluar individu, melainkan oleh bagaimana individu mempersepsi dan meng-interpretasikan kejadian itu:
a.     Persepsi dan interpretasi itu membentuk fiksi yang menjadi tujuan bagi tingkah laku individu --- fictional goal (fg).
b.     Life goal (lg): fictional goal menjadi arah dari tingkah laku individu untuk mengatasi kelemahannya dalam menghadapi dunianya. --- fictional goal menjadi life goal.
c.     Life style (ls): life goal yang menjadi arah tingkah laku itu lebih jauh akan membentuk life style.
d.     Social interest (si): manusia dilahirkan sebagai makhluk social dan adapun yang dilakukannya selalu dalam hubungannya dengan kelompok social.

C.   Kepribadian
1.  Perkembangan Kepribadian
a.     Dasar kepribadian terbentuk pada usia empat – lima tahun pertama.
b.     Pada awalnya manusia dilahirkan dengan feeling of inferiority (foi) yang selanjutnya menjadi dorongan bagi perjuangannya kea rah feeling of superiority (fos).
c.      Anak-anak menghadapi lingkungannya dengan kemampuan dasarnya dan menginterpretasikan lingkungannya itu dan pada saat itu juga social interest-nya juga berkembang.
d.     Selanjutnya terbentuklah life style yang unik pada masing-masing individu --- human individuality yang bersifat: self-deterministik, teleologis, dan holistic.
e.      Sekali terbentuk life style sukar untuk berubah; perubahannya akan membawa kepedihan.

2.   Individu sukar menyadari sepenuhnya life style-nya sendiri, untuk menjelaskannya biasanya diperlukan orang lain.

C.    Perkembangan kepribadian
Pada periode umur empat sampai lima tahun merupakan saat yang menjadi dasar yang sangat menentukan perkembangan kepribadian seseorang. Adler meyakini bahwa setiap orang dilahirkan dengan dilengkapi “feeling of inferiority” (rasa rendah diri), namun dibalik itu ada dorongan untuk menjadi superiority (rasa diri lebih).
Dengan adanya feeling of inferiority, timbul keinginan untuk menjadi superiority. Dengan demikian orang yang menyadari dirinya memiliki kekurangan apabila dibandingkan dengan orang lain akan berusaha untuk lebih maju. Menurut Rochman Natawidjaja (1987), perasaan rendah diri itu dapat merupakan sumber kreativitas; tujuan hidup adalah kesempurnaan dan bukan kesenangan.
Perjuangan mencapai superiority itu mendorong usaha-usaha dalam diri individu. Gerald Corey (1988), menguraikan bahwa orang mencoba mengatasi inferioritas dasarnya dengan kekuasaan. Dengan berusaha untuk mencapai superioritas, ia ingin mengubah kelemahan dengan kekuatan atau mencoba mencapai keunggulan pada suatu bidangsebagai kompensasi dari kekurangannya dibidang-bidang lain.

D.    Perkembangan kepribadian salah suai
Pada dasarnya keabnormalan kepribadian seseorang disebabkan oleh inferiority feeling. Inferiority feeling yang tidak ditanggulangi dengan baik atau dibesar-besarkan serta berlangsung secara tidak wajar akan dapat menimbulkan bibit ketidak normalan, apalagi dibarengi dengan: (1) kecacatan fisik maupun mental, (2) perlakuan orang tua yang tidak wajar, dan (3) apabila anak diterlantarkan.
Susunan dalam keluarga dapat memperkuat perasaan rendah diri pada anak. Anak sulung yang diberi perhatian yang banyak sampai anak ke dua lahir memiliki kemungkinan menjadi diterlantarkan sehingga dia bisa mengembangkan kebencian pada orang lain dan merasa diri tidak aman. Anak bungsu cenderung menjadi manja dan takut bersaing dengan kakaknya. Sedangkan anak tunggal dimanjakan oleh orang tuanya dan memiliki kemungkinan menghabiskan sisa hidupnya dengan usaha memperoleh kembali kedudukan yang menyenangkan.

E.   Tujuan konseling

1.    mengubah konsep tentang diri klien sendiri. Individu yang mengalami masalah sebetulnya disebabkan oleh karena konsep diri yang dimilikinya bersifat negative, dalam arti dia sering melihat dirinya tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.
2.    melalui perubahan konsep diri sendiri, diharapkan akan dapat berubah pula fisiknya.
3.    dari perubahan fisiknya diharapkan akan berubah pula gaya hidup dan akhir dapat diubah tingkah lakunya.

F.     Proses konseling
Untuk menganalisis tingkah laku klien, konselor hendaklah memperhatikan kaitan antara tingkah laku tersebut dengan aspek lainnya dari diri individu. Sejumlah aspek yang perlu dipahami oleh konselor, direkomendasika oleh Hansen (1977) sebagai berikut:
1.      tingkah laku holistic (yaitu tingkah laku yang ada sangkut pautnya atau tidak berdiri sendiri), hanya dapat dimengerti dalam kesatuannya.
2.      pentingnya suatu tingkah laku itu tergantung pada hubungan dengan akibat yang ditimbulkannya. Dalam proses konseling, tidak semua tingkah laku ditelusuri, namun konselor hanya mengungkap bagian penting saja dari tingkah laku, khususnya yang menjadi penyebab timbulnya salah suai tersebut.
3.      sebagai makhluk sosial, tingkah laku individu itu hanya bisa dimengerti dalam kaitan dengan hal-hal yang bersifat social
4.      motifasi individu hanya dapat dimengerti dengan baik apabila dipandang dari bagaimana individu mencari pengakuan dari orang lain akan tingkah laku yang ditampilkannya.
5.      tingkah laku individu selalu diarahkan pada tujuan tertentu.
6.      rasa memiliki dan dimiliki adalah sesuatu yang mendasar bagi keberadaan manusia. Dengan demikian tingkah laku individu sering ditentukan oleh rasa ini.
Penyelenggaraan konseling model psikologi individual ini, para konselor perlu memperhatikan aspek hubungan antara konselor dank lien. Hubungan baik keduanya akan banyak mendukung bagi pencapaian keberhasilan konseling. Untuk itu beberapa hal yang dapat dipedomani oleh konselor menurut Hansen (1977) adalah:
1.        harus berwujud hubungan social yang akrab antara konselor dank lien, dan jangan sampai terjadi kesalah pahaman atau pertengkaran.
2.        konselor hendaklah mendengan dan memahami dengan lembut apa-apa yang disampaikan klien.
3.        proses konseling hendaklah melalui tahap-tahap berikut:
a.         konselor mencoba berusaha untuk mengerti tujuan-tujuan hidup dan gaya hidup klien.
b.         Kemudian konselor berusaha menganalisis dan menafsirkan tingkah laku klien.
c.         Menganalisis permasalahan itu dalam kaitannya dengan minat social klien.

G.    Teknik konseling
Teknik konseling yang digunakan oleh konselor adalah:
a.         Teknik komparatif. Dalam teknik ini konselor melakukan perbandingan dirinya dengan konselor. Dengan empati, konselor mencoba membayangkan gaya hidup dan masalah klien dalam dirinya. Atas dasar itu konselor kemudian membantu klien untuk memperbaiki gaya hidup dan memecahkan masalah klien.
b.         Teknik analisis mimpi. Menurut Adler, mimpi merupakan refleksi gambaran tujuan hidup klien. Dengan menganalisis mimpi yang dialami klien maka konselor dapat memperkirakan tujuan hidup klien. Atas dasar itu kemudian konselor membantu klien.
Selain itu ada beberapa fase yang dilakukan konselor dalam memberikan layanan konseling berdasarkan model ini, yaitu menciptakan hubungan (fase I), menggali dinamika individual (fase II), memberi semangat untuk pemahaman (fase III), menolong agar bisa berorientasi ulang (fase IV) .
Fase membina hubungan akan sangat menentukan proses konseling selanjutnya hingga menentukan fase selanjutnya yaitu menggali dinamika individu. Dinamika individu harus digali untuk mengetahui gaya hidup dan pemecahan masalah yang tepat bagi individu. Hal-hal yang digali diantaranya adalah konstelasi keluarga berupa urut-urutan kelahiran, karena hal itu mempunya pengaru yang besar dalam membentuk gaya hidup individu. Selanjutnya pengalaman sewaktu usia antara empat hingga enam tahun atau berbagai kenangan masa kecil. Mimpi yang sering dialami karena bagi Adlerian hal itu menggambarkan prioritas dan keinginan. Mengenai prioritas itu sendiri klien diarahkan untuk menilai mana prioritas yang lebih utama dalam hidupnya.
Proses selanjutnya klien diberi semangat, dorongan dan pemahaman untuk memupuk semangat dan kepercayaan dirinya kembali, karena diri atau self membutuhkan hal itu. Terakhir adalah menolong agar bisa berorientasi ulang yang difokuskan untuk mendorong klien agar bisa melihat alternatif yang baru dan lebih fungsional. Klien didorong semangatnya dan sekaligus ditantang untuk mengembangkan keberaniannya mengambil resiko dan membuat perubahan yang baik dalam hidupnya.

1.         Menganalisis gaya hidup klien. Kegiatan yang termasuk dalam hal ini adalah:
a.         konselor harus sampai pada kenyataan tentang factor-faktor yang meyakinkan akan mempengaruhi kepribadian klien sampai dia mengalami masalah hingga saat konseling berlangsung.
b.        Pemahaman yang sebenarnya tentang pola-pola tingkah lakunya selama ini secara nyata, untuk menemukan kesenjangan.
c.         Konselor harus sampai dapat membandingkan konstelasi (keadaan) keluarga dimana klien hidup dengan yang seharusnya, sebab semua itu akan mempengaruhitingkah laku klien.
d.        Konselor harus bisa menyampaikan penafsirannya kepada klien, tentang hubungan apa yang diperolehnya dari butir a, b, dan c tersebut.
2.         Menginterpretasikan ingatan-ingatan masa lampau yang lebih ada kaitannya dengan kondisi sekarang, yaitu keadaan pada waktu berumur dibawah 10 tahun. Keadaan masa lampau itu diperkirakan akan berpengaruh pada masa sekarang, khususnya pembentukan kepribadian yang abnormal.
3.         dengan penafsiran tersebut diharapkan persepsi klien berubah, dan pada akhirnya dia dapat mengubah tingkah lakunya, sehingga sesuai dengan keadaan sekarang.
   H.    Kekuatan dan Kelemahan Konseling Psikologi Individual

a.         Kekuatan
-            Keyakinan yang optimistik bahwa setiap orang dapat berubah, dapat mencapai sesuatu, arah evaluasi manusia bersifat positif
-            Penekanan hubungan konseling sebagai suatu media untuk mengubah klien
-            Menekankan bahwa masyarakat tidak sakit atau salah, akan tetapi manusianya yang sakit atau salah
-            Menekankan bahwa kekuatan sebagai pusat pendorong perilaku

b.        Kelemahan
-            Terlalu banyak menekankan pada tilikan intelektual dalam upaya perubahan
-            Penekanan yang berlebihan pada pengalaman, nilai, dan minat subyektif sebagai penentu perilaku
-            Minimalkan faktor biologis dan riwayat masa lalu
-            Terlalu banyak menekankan tanggung jawab pada keterampilan diagnostik konselor.

SUMBER:
Mohamad Surya. 2003. Teori-Teori Konseling. Bandung: Pustaka Bani Quraisy

Prayitno. 1998. Konseling Pancawaskita. Padang: FIP UNP
Corey, Gerald. (2007). Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Refika Aditama. Bandung.
Jones, Richard Nelson. (2011). Teori dan Praktik Konseling dan Terapi. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Komalasari, Gantina., dkk. (2011) Teori dan Teknik Konseling. PT Indeks, Jakarta.
Prayitno. (1998).  Konseling Panca Waskita, PSBK. FIP IKIP Padang
Taufik. 2002. Model-model Konseling. Padang: BK FIP UNP.
WS. Winkel & M.M Sri Hastuti (2005), Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan, Media Abdi; Yogyakarta

Baca Juga yang Terkait di Sini


Read more...

Sunday, September 29, 2013

Makalah_Teori HOLLAND

0 komentar


BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang Masalah

Remaja berada dalam periode yang banyak mengalami masalah, baik masalah pertumbuhan dan perkembangan, maupun masalah penyesuaian diri dengan teman sebaya, orang dewasa, dan masyarakat luas. Masalah pertumbuhan remaja misalnya bingung dan  karena kematangan hormon seks seperti haid bagi wanita dan pengeluaran mani bagi pria. Masalah perkembangan, misalnya dalam perkembangan sosial, remaja mulai tertarik terhadap lawan jenis, sedangkan mereka malud dan kurang percaya diri untuk membina hubungan yang akrab, sehingga dapat menimbulkan konflik.

Gejolak emosi remaja yang cenderung tinggi perlu dipahami oleh para pendidik khususnya orang tua dan guru yaitu dengan menghindari hal-hal yang dapat memunculkan emosi negatif seperti marah, kecewa, dan cemas. Hal-hal yang paling banyak menyebabkan emosi negatif ini adalah masalah sosial seperti hubungan dengan orang tua, guru,dan teman sebaya.


B.    Rumusan Masalah
Berdasarkan permasalahan yang ada dalam latar belakang diatas, ada beberapa rumusan masalah yang perlu dikaji, diantaranya:
1.      Apa pengertian emosi?
2.      Apa saja jenis dan ciri emosi?
3.      Apa saja faktor yang mempengaruhi perkembangan emosi?
4.      Apa perbedaan individual dalam perkembangan emosi?
5.      Bagaimana usaha guru mengembangkan emosi positif remaja?
6.      Bagaimana upaya mengembangkan emosi remaja implikasinya bagi pendidikan?

C.    Tujuan Penulisan

Dari rumusan masalah di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1.      Mengetahui pengertian emosi
2.      Mengetahui jenis dan ciri emosi
3.      Mengetahui  faktor yang mempengaruhi perkembangan emosi
4.      Mengetahui  perbedaan individual dalam perkembangan emosi
5.      Mengetahui usaha guru mengembangkan emosi positif remaja
6.      Mengetahui upaya mengembangkan emosi remaja implikasinya bagi pendidikan.












BAB II
PEMBAHASAN

A.     Pengertian Emosi
Beberapa definisi mengenai emosi menurut para ahli (dalam Mohammad Ali, dkk;2011) adalah sebagai berikut:
1.      Daniel Goleman (1995)
Memaknai emosi sebagai kegiatan atau pergolakan pikiran, perasaan, nafsu, setiap keadaan mental yang hebat dan meluap-luap. Lebih lanjut, Daniel Goleman (1995) mengatakan bahwa emosi merujuk kepada suatu perasaan dan pikiran-pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis, dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak.
2.      Chaplin (1989)
Mendefinisikan emosi sebagai suatu keadaan yang terangsang dari organisme mencakup perubahan-perubahan yang disadari, yang mendalam sifatnya dari perubahan perilaku. Chaplin (1989) membedakan emosi dengan perasaan, dan dia mendefinisikan perasaan (feelings) adalah pengalaman disadari yang diaktifkan baik oleh perangsang eksternal maupun oleh bermacam-macam keadaan jasmaniah.

Hathersall, 1985 (dalam Mudjiran,2007) merumuskan pengertian emosi sebagai situasi psikologis yang merupakan pengalaman subjektif yang dapat dilihat dari reaksi wajah dan tubuh.

Menurut Mudjiran (2007) mendefinisikan emosi sebagai suatu reaksi psikologis yang ditampilkan dalam bentuk tingkah laku gembira, bahagia, sedih, berani, takut, marah, muak, haru, cinta, dan sejenisnya. Sementara itu, Sunarto, dkk. (2008) mendefinisikan emosi adalah pengalaman afektif yang disertai penyesuaian dari dalam diri individu tentang keadaan mental dan fisik dan berwujud suatu tingkah laku yang tampak.
 Mohammad Ali, dkk. (2011) menyatakan bahwa emosi adalah setiap kegiatan atau pergolakan pikiran, perasaan, nafsu serta kepada suatu perasaan dan pikiran-pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis, dan serangkaian kecendrungan untuk bertindak.

B.    Jenis dan Ciri-Ciri Emosi
Luella Cole, 1963 (dalam Mudjiran 2007) mengemukakan bahwa ada tiga jenis emosi yang menonjol pada periode ramaja, yaitu sebagai berikut:
a.      Emosi Marah
Emosi marah lebih mudah timbul apabila dibandingkan dengan emosi lainya dalam kehidupan remaja. Penyebab timbulnya emosi marah pada remaja ialah apabila mereka direndahkan, dipermalukan, dihina, atau dipojokkan dihadapan kawan-kawannya.
b.      Emosi Takut
Emosi takut banyak menyangkut dengan ujian yang akan diikuti, sakit, kekurangan uang, rendahnya prestasi, tidak dapat pekerjaan atau kehilangan pekerjaan, keluarga yang kurang harmonis, tidak populer dimata lawan jenis, tidak dapat pacar, memikirkan kondisi fisik yang tidak seperti diharapkan.

c.      Emosi Cinta
Emosi cinta telah ada semenjak masa bayi dan terus berkembang sampai dewasa. Pada masa remaja, rasa cinta diarahkan kepada lawan jenis. Pada masa bayi rasa cinta diarahkan pada orang tua terutama kepada ibu.

Daniel Goleman, 1995 (dalam Mohammad Ali, dkk; 2011) mengidentifikasi sejumlah kelompok emosi, yaitu sebagai berikut:
1.      Amarah, didalamnya meliputi brutal, mengamuk, benci, marah besar, jengkel, kesal hati, terganggu, rasa pahit, berang, tersinggung, bermusuhan, dan tindak kekerasan.
2.      Kesedihan, didalamnya meliputi pedih, sedih, muram, suram, melankolis, mengasihani diri, kesepian, ditolak, putus asa dan depresi.
3.      Rasa takut, didalamnya meliputi cemas, takut, gugup, khawatir, waswas, perasaan takut sekali, sedih, waspada, tidak tenang, ngeri, kecut, panik dan fobia.
4.      Kenikmatan,didalamnya meliputi bahagia, gembira, ringan puas, riang, senang, terhibur, bangga, kenikmatan indrawi, takjub, terpesona, puas, rasa terpenuhi, girang, senang sekali, dan mania.
5.      Cinta, didalamnya meliputi penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan hati, rasa dekat, bakti, hormat, kasmaran, dan kasih sayang.
6.      Terkejut, didalamnya meliputi terkesiap, takjub, dan terpana.
7.      Jengkel, didalamnya meliputi hina, jijik, muak, mual, benci, tidak suka, dan mau muntah.
8.      Malu, didalamnya meliputi rasa bersalah, malu hati, kesal hati, menyesal, hina, aib, dan hati hancur lebur.
Biehler, 1972(dalam Sunarto, dkk; 2008) membagi ciri-ciri emosional remaja menjadi dua rentang usia, yaitu usia 12-15 tahun dan usia 15-18 tahun.
v  Ciri-ciri emosional remaja berusia 12-15 tahun:
1)     Pada usia ini seorang siswa/anak cenderung banyak murung dan tidak dapat diterka. Sebagian kemurungan sebagai akibat dari perubahan-perubahan biologis dalam hubunganya dalam kematangan seksual dan sebagian karena kebingungannya dalam menghadapi apakah ia masih sebagai anak-anak atau sebagai seorang dewasa.
2)     Siswa mungkin bertingkah laku kasar untuk menutupi kekurangan dalam hal percaya diri.
3)     Ledakan-ledakan kemarahan mungkin bisa terjadi. Hal ini seringkali terjadi sebagai akibat dari kombinasi ketegangan psikologis, ketidakstabilan biologis, dan kelelahan karena bekerja terlalu keras atau pola makan yang tidak tepat atau tidur yang tidak cukup.
4)     Seorang remaja cenderung tidak toleran terhadap orang lain dan membenarkan pendapat sendiri yang disebabkan kurangnya rasa percaya diri. Mereka mempunyai pendapat bahwa ada jawaban-jawaban absolut dan bahwa mereka mengetahuinya.
5)     Siswa-siswi di SMP mulai mengamati orang tua dan guru-guru mereka secara lebih objektif dan mungkin menjadi marah apabila mereka ditipu dengan gaya guru bersikap serba tahu (maha tahu).



v  Ciri-Ciri emosional remaja usia 15-18 tahun:
1)     “pemberontakan” remaja merupakan pernyataan-pernyataan/ekspresi dari perubahan yang universal dari masa kanak-kanak ke dewasa.
2)     Karena bertambahnya kebebasan mereka, banyak remaja yang mengalami konflik dengan orang tua mereka. Mereka mungkin mengharapkan simpatik dan nasehat orang tua atau guru.
3)     Siswa pada usia ini seringkali melamun, memikirkan masa depan mereka. Banyak di antara mereka terlalu tinggi menafsir kemampuan mereka sendiri dan merasa berpeluang besar untuk memasuki pekerjaan dan memegang jabatan tertentu.
Sunarto, dkk. (2008), menjelaskan bahwa pada saat terjadi emosi seringkali terjadi perubahan-perubahan pada fisik, antara lain:
1)     Reaksi elektris pada kulit; meningkat bila terpesona.
2)     Peredaran darah; bertambah cepat bila marah.
3)     Denyut jantung; bertambah cepat bila terkejut.
4)     Pernafasan; bernafas panjang kalau kecewa.
5)     Pupil mata; membesar bila marah.
6)     Liur; mengering kalau takut atau tegang.
7)     Bulu roma; berdiri kalau takut.
8)     Pencernaan; mencret-mencret kalau tegang.
9)     Otot; ketegangan dan ketakutan menyebabkan otot menegang atau bergetar (tremor).
10)   Komposisi darah; komposisi darah akan ikut berubah karena emosional yang menyebabkan kelenjar-kelenjar lebih aktif.


C.    Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Emosi Remaja
Menurut Mohammad Ali, dkk (2011) ada sejumlah faktor yang mempengaruhi perkembangan emosi remaja, yaitu  sebagai berikut:
1.      Perubahan Jasmani
Perubahan jasmani yang ditunjukkan dengan adanya pertumbuhan yang sangat cepat dari anggota tubuh pada taraf permulaan pertumbuhan ini hanya terbatas pada bagian-bagian tertentu saja yang mengakibatkan postur tubuh menjadi tidak seimbang ketidakseimbangan tubuh ini sering mempunyai akibat yang tak terduga pada perkembangan emosi remaja.
2.      Perubahan Pola Interaksi dengan Orang Tua
Pola asuh orang tua terhadap anak, termasuk remaja, sangat bervariasi. Ada pola asuh menurut apa yang dianggap terbaik oleh dirinya sendiri saja sehingga ada yang bersifat otoriter, memanjakan anak, acuh tak acuh, tetapi ada juga yang dengan penuh cinta kasih.
3.      Perubahan Interaksi dengan Teman Sebaya
Remaja seringkali membangun interaksi sesama teman sebayanya secara khas dengan cara berkumpul untuk melakukan aktivitas bersama dengan membentuk semacam geng. Interaksi antar anggota dalam suatu kelompok geng biasanya sangat intem serta memiliki kohesivitas dan solidaritas yang sangat tinggi. Tujuan pembentukan kelompok dalam bentuk geng, yaitu untuk memenuhi minat mereka bersama. Faktor yang sering menimbulkan masalah emosi pada masa ini adalah hubungan cinta dengan teman lawan jenis.

4.  Perubahan Pandangan Luar
Ada sejumlah perubahan pandangan dunia luar yang dapat menyebabkan konflik-konflik emosional dalam diri remaja, yaitu sebagai berikut:
a.     Sikap dunia luar terhadap remaja sering tidak konsisten.
b.     Dunia luar atau masyarakat masih menerapkan nilai-nilai yang berbeda untuk remaja laki-laki dan perempuan.
c.      Seringkali kekosongan remaja dimanfaatkan oleh pihak luar yang tidak bertanggung jawab, yaitu dengan cara melibatkan remaja tersebut dalam kegiatan-kegiatan yang merusak dirinya dan melanggar nilai-nilai moral.

5.  Perubahan Interaksi dengan Sekolah
Para guru disekolah merupakan tokoh yang sangat penting dalam kehidupan remaja karna selain tokoh intelektual, guru juga merupakan tokoh otoritas bagi para peserta didiknya. Posisi guru semacam ini sangat srategis apabila digunakan untuk pengembangan emosi anak melalui penyampaian materi-materi yang positif dan konstruktif.
Namun demikian, tidak jarang terjadi bahwa dengan figur sebagai tokoh tersebut, guru memberikan ancaman-ancaman tertentu kepada peserta didiknya. Peristiwa tersebut dapat menambah permusuhan dari anak-anak setelah menginjak masa remaja. Cara-cara seperti ini akan memberikan stimulus negatif bagi perkembangan emosi anak.
Hurlock, 1960 (dalam Sunarto, dkk; 2008) mengemukakan bahwa perkembangan emosi remaja bergantung pada faktor kematangan dan faktor belajar. Sunarto, dkk (2008)  mengemukakan bahwa kegiatan belajar turut menunjang perkembangan emosi. Metode belajar yang dapat menunjang perkembangan emosi, antara lain:
a.  Belajar dengan coba-coba
b.  Belajar  dengan cara meniru
c.   Belajar dengan cara mempersamakan diri (learning by identification)
d.  Belajar melalui pengkondisian
e.  Pelatihan atau belajar di bawah bimbingan dan pengawasan, terbatas pada aspek reaksi.

Hurlock, 1980 dan Cole, 1963 (dalam Elida Prayitno, 2006) menyatakan  beberapa penyebab yang sering menimbulkan emosi negatif yaitu:
a.  Memperlakukan remaja sebagai anak kecil sehingga mereka merasa harga dirinya dilecehkan.
b.  Dihalangi membina keakraban dengan lawan jenis.
c.   Terlalu sering disalahkan atau dikritik.
d.  Mersa diperlakukan secara tidak adil.
e.  Merasa kebutuhan mereka tidak dipenuhi oleh orang tua.
f.    Diperlakukan secara otoriter, seperti dituntut harus patuh, lebih banyak dicela, dihukum dan dihina.

Menurut Elida Prayitno (2006) remaja yang mengalami gangguan emosi akan menyebabkan mereka bertingkah laku nakal. Beberapa sebab gangguan emosi yang dialami remaja adalah sebagai berikut:

a.  Merasa kebutuhan fisik mereka tidak terpenuhi secara layak sehingga timbul ketidakpuasan, kecemasan dan kebencian terhadap nasib mereka sendiri.
b.  Merasa dibenci, disia-siakan dan tidak diterima oleh siapapun termasuk orang tua mereka sendiri.
c.   Merasa lebih banyak dirintangi, dibantah, dihina, serta dipatahkan dari pada disokong, disayangi dan ditanggapi khususnya mengenai ide-ide mereka.
d.  Merasa tidak mampu atau bodoh
e.  Merasa tidak senang terhadap kehidupan keluarga mereka yang tidak harmonis.
f.    Merasa menderita dan iri yang mendalam terhadap saudara-saudara kandung karena dibedakan dan diperlakukan secara tidak adil.

D.    Perbedaan Individual dalam Perkembangan Emosi
Sunarto, dkk. (2008), menjelaskan bahwa semua emosi di ekspresikan secara lebih lunak karena mereka telah mempelajari reaksi orang lain terhadap luapan emosi yang berlebihan, sekalipun emosi itu berupa kegembiraan atau emosi yang menyenangkan. Selain itu karena anak-anak mengekang sebagian ekspresi emosi mereka, emosi tersebut cenderung bertahan lebih lama dari pada jika emosi itu diekspresikan secara lebih terbuka. Oleh sebab itu, ekspresi emosional mereka menjadi berbeda-beda.
Perbedaan itu sebagian disebabkan oleh keadaan fisik anak pada saat itu dan taraf kemampuan intelektualnya, dan sebagian lagi disebabkan oleh kondisi lingkungan. Anak yang sehat cenderung kurang emosional dibandingkan dengan anak yang kurang sehat.
Cara mendidik yang otoriter mendorong perkembangan emosi kecemasan dan takut, sedangkan cara mendidik yang permisif atau demokratis mendorong berkembnagnya semangat dan rasa kasih sayang. Anak anak dari keluarga yang berstatus sosial ekonomi rendah cenderung lebih mengembangkan rasa takut dan cemas dibandingkan dengan mereka yang berasal dari keluarga berstatus sosial ekonomi tinggi.

E.     Usaha Guru Mengembangkan Emosi Positif Remaja
Menurut Mudjiran (2007) untuk mengembangkan emosi positif dalam diri siswa atau anak, orang tua maupun guru hendaknya melaksanakan hal-hal sebagai berikut:
1.      Orang tua dan guru serta orang dewasa lainya dalam lingkungan anak (significant person) hendaknya dapat menjadi model dalam mengekspresikan emosi-emosi negatif, sehingga tampilanya tidak meledak-ledak.
2.      Adanya program latihan beremosi baik di sekolah maupun di dalam keluarga.
3.      Mempelajari dan mendiskusikan secara mendalam kondisi-kondisi yang cenderung menimbulkan emosi negatif, dan upaya-upaya menanggapi secara lebih baik.

F.     Upaya Mengembangkan Emosi Remaja Implikasinya bagi Pendidikan
Intervensi pendidikan untuk mengembangkan emosi remaja agar dapat mengembangkan kecerdasan emosional, salah satu diantaranya dengan menggunakan intervensi yang dikemukakan oleh W.T. Grant Consortium (dalam Mohammad Ali, dkk; 2011) tentang “Unsur-Unsur Aktif Program Pencegahan”, yaitu sebagai berikut:
1.      Pengembangan Keterampilan Emosional
Cara yang dapat  dilakukan untuk mengembangkan keterampilan emosional individu adalah:
a.     Mengidentifikasi dan memberi nama atau label perasaan
b.     Mengungkapkan perasaan
c.      Menilai intensitas perasaan
d.     Mengelola perasaan
e.     Menunda pemuasan
f.       Mengendalikan dorongan hati
g.     Mengurangi stres
h.     Memahami perbedaan antar perasaan dan tindakan.

2.      Pengembangan Keterampilan Kognitif
Cara yang dapat dilakukan untuk mengembangkan keterampilan kognitif individu adalah sebagai berikut:
a.     Belajar melakukan dialog batin sebagai cara untuk menghadapi dan mengatasi masalah atau memperkuat perilaku diri sendiri.
b.     Belajar membaca dan menafsirkan isyarat-isyarat sosial.
c.      Belajar menggunakan langkah-langkah penyelesaian masalah dan pengambilan keputusan.
d.     Belajar memahami sudut pandang orang lain (empati).
e.     Belajar memahami sopan santun
f.       Belajar bersikap positif terhadap kehidupan
g.     Belajar mengembangkan kesadaran diri



3.      Pengembangan Keterampilan Perilaku
Cara yang dapat dilakukan untuk mengembangkan perilaku individu adalah sebagai berikut:
a.     Mempelajari komunikasi nonverbal
b.     Mempelajari keterampilan komunikasi verbal

















BAB III
PENUTUP

A.     Kesimpulan

Emosi adalah setiap kegiatan atau pergolakan pikiran, perasaan, nafsu serta kepada suatu perasaan dan pikiran-pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis, dan serangkaian kecendrungan untuk bertindak. Adapun faktor-faktor yang mmpengaruhi perkembangan emosi, yaitu perubahan jasmani, perubahan pola interaksi dengan orang tua, perubahan interaksi dengan teman sebaya, perubahan pandangan luar, dan perubahan interaksi dengan sekolah.

Usaha-usaha guru untuk mengembangkan emosi positif dalam diri siswa, yaitu guru dapat menjadi model dalam mengekspresikan emosi negatif, program latihan beremosi, dan mempelajari dan mendiskusikan kondisi yang menimbulkan emosi negatif. Sedangkan, upaya untuk mengembangkan emosi remaja yaitu dengan pengembangan keterampilan emosional, pengembangan keterampilan  kognitif, dan pengembangan keterampilan perilaku.

B.    Saran
Dalam mengembangkan emosi remaja guru dapat bekerjasama dengan orang tua, sehingga remaja dapat meningkatkan emosi positif remaja. Melalui upaya pengembangan emosi tersebut dapat meminimalkan atau mengendalikan emosi-emosi yang bersifat negatif, serta untuk lebih dapat mengenali emosi-emosi anak didik yang perlu dikembangkan.
KEPUSTAKAAN


Elida Prayitno. 2006. Psikologi Perkembangan Remaja. Padang: Angkasa Raya.
Mohammad Ali, dkk. 2011. Psikologi Remaja Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Mudjiran. 2007. Perkembangan Peserta Didik. Padang: UNP Press.
Sunarto, dkk. 2008. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Rineka Cipta.

Read more...