Pendekatan terhadap
Akuntabilitas
Akuntabilitas dapat dipahami
dari dua pendekatan yang berbeda (O’Connell 2005). Pertama dilihat dari principal-agent
theory. Menurut teori ini, pemegang otoritas (principal)
mempekerjakan pihak tertentu (agent) yang harus dimonitor untuk
mencegah terjadinya perilaku menyimpang. Dalam perspektif ini, akuntabilitas
berkenaan dengan mempekerjakan pihak yang tepat, menilai pekerjaannya, dan
memberikan reward atau ganjaran sesuai dengan capaian pekerjaan. Dalam
pandangan tradisional (one-way model) ini, principal adalah reviewer.
Principal menilai laporan pekerjaan agent dan memutuskan apa dan
bagaimana memberikan penalti, bahkan mengubah pola hubungannya dengan agent.
Namun relasi tersebut bukanlah
satu-satunya model untuk menetapkan harapan kinerja. Dalam prakteknya, banyak
hubungan atau relasi yang tidak hanya one-sided. Para agent
juga dapat menilai hubungannya dengan principal, dan memutuskan apakah
tetap melanjutkan atau memperbaiki hubungan tersebut. Sehingga dapat dikatakan
bahwa agent memiliki pola hubungan timbal balik dengan principal.
Dalam kaitannya dengan kebijakan atau program pemerintah tertentu, terdapat
beberapa principal, klien, maupun konstituen. Tentunya hal tersebut
akan semakin merumitkan model akuntabilitas yang nantinya akan digunakan.
Seperti yang dikatakan Bardach and Lesser (1996) agent bisa saja
akuntabel terhadap beberapa principal dan memenuhi beragam ekspektasi
yang bisa saja kontradiktif.
Berdasarkan pendekatan di
atas, akuntabilitas tidak sekedar mengikuti one-way model saja, karena
ada berbagai macam pemangku kepentingan yang terlibat dalam sebuah kebijakan
atau program publik. Setiap pemangku kepentingan atau entitas menuntut
akuntabilitas dari implementor kebijakan atau program menurut capaian kinerja
yang diharapkan.
Sebagai sebuah proses,
akuntabilitas berupaya untuk menjawab empat pertanyaan. Pertama,
berkenaan dengan "responsibilitas", yaitu siapa yang melaksanakan
tindakan apa, menghasilkan apa, dan untuk siapa. Mengidentifikasikan siapa
berbuat apa dan untuk siapa merupakan langkah awal dalam setiap sistim
akuntabilitas. Langkah ini selanjutnya akan membangun mutual accountability.
Kedua, berkaitan dengan "diskresi", yaitu seberapa besar
diskresi yang dimiliki oleh agent dalam melaksanakan pekerjaan yang
diemban kepadanya. Jawabannya tergantung pada bagaimana ekspektasi kinerja
telah dipahami, dan siapa yang memiliki kewenangan untuk memutuskan cara
pencapaian sasaran kinerja. Ketiga, berkaitan dengan
"pelaporan", yaitu siapa yang menyediakan informasi apa, dan kepada
siapa. Menyediakan informasi tentang kinerja juga merupakan aspek penting dalam
akuntabilitas. Principal perlu mengetahui apakah agent telah
melaksanakan tanggung jawabnya. Keempat, berkenaan dengan
"reviewing dan "revising", yaitu siapa yang menggunakan
informasi apa untuk membuat keputusan ke depan.
Manfaat Akuntabilitas Bimbingan dan Konseling
1. Menentukan dampak program BK pada
siswa , orangtua , jurusan , dan iklim sekolah.
2. Mengetahui apakah para klien
telah berhasil mencapai tujuan program.
3. Identifikasi terhadap hal-hal apa
saja yang masih belum dicapai dalam program.
4. Identifikasi terhadap
komponen-komponen yang efektif di dalam program.
5. Menghapus atau meningkatkan
komponen-komponen program yang kurang efektif.
6. Mengadaptasi serta menyaring
proses program BK dan implementasinya.
7. Mengidentifikasi berbagai
konsekuensi yang tidak diharapkan muncul dari program (baik konsekuensi positif
maupun negatif);
8. Mengidentifikasi berbagai bahasan
yang perlu diangkat;
9. Membangun tujuan bagi
perkembangan profesionalisme konselor;
10. Menentukan kebutuhan para staff
dan penyesuaian beban kerja;
11. Menentukan berbagai sumber daya
tambahan lainnya yang diperlukan agar program dapat terlaksana secara cermat;
dan
12. Memberikan informasi secara
akuntabel kepada para pendidik dan masyarakat sekitar.
Sumber
:
0 komentar:
Post a Comment